Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
Pada hafalkan lirik lagu hymne di atas? Kalau boleh jujur,
saya sangat menyukai lagu tersebut. Kata-katanya sangat mendalam sekali. Membuat
saya teringat kepada guru-guru saya di SD dan si SMP. Saya terinspirasi untuk
membahas lagu hymne ini karna sewaktu upacara bensera hari senin, paduan suara
sekolah saya memyanyikan lagu ini. Kalau boleh jujur pada saat upacara
dilaksanakan saya sempat bercanda dengan teman disamping saya. Namun, saya
langsung terdiam saat lagu ini mulai dilantukan. Rasanya saya bodoh melakukan
hal tadi dengan teman saya pada saat upacara. Lambat laun saya mulai mengikuti
lagu itu. Lagu itu sangat sampai kedalam hati saya. Rasanya saya teringat akan
jasa-jasa guru saya di TK, SD, SMP maupun sekrang di SMA.
Sepulang sekolah, saya menceritakan yang terjadi pada saat
upacara tersebut kepada Papah saya. Lalu Papah saya menceritakan Sang Pencipta
lagu tersebut. Kata Papah yang mecinptakan adalah Bapak Sartono. Beliau adalah
seorang guru namun honorer dan tidak PNS. Saya langsung tertegun mendengar hal
itu. Saya langsung membayangkan apabila posisi Papah saya seperti itu. Karna
Papah saya adalah seorang guru PNS yang mengajar pelajran IPS di SMP Negri
Sumedang.
Karna penasaran, saya langsung mencarinya lewat google, dan
saya akan membagikannya pada kalian semua.
Awal Lagu
Hymne Guru Diciptakan
Ketika
itu, tahun 1980, Sartono tengah naik bus menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar
kulintang. Di perjalanan, secara tidak sengaja ia membaca di secarik koran,
mengenai sayembara penciptaan lagu hymne guru yang diselenggarakan Depdiknas.
Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000. Waktu yang tersisa dua pekan, untuk
merampungkan lagu.
Waktu
sudah sangat terdesak, lagu belum juga jadi. Beliau sangat kebingungan karna
syairnya masih tidak beraturan. Pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono
tidak keluar rumah. Ia bahkan tak turut beranjang sana mengantar istri dan dua
keponakannya silaturrahmi ke orangtua dan sanak keluarga. Beliau menyempatkan
untuk mebuat lagu tersebut.
Awalnya,
lirik yang ia ciptakan terlalu panjang. Padahal, durasi lagu tak lebih dari
empat menit. Sartono pun berkali- kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang
harus dibuang. Lalu munculah sebuah istilah PAHLAWAN TANPA TANDA JASA.
Sartono
kebingungan bagaimana caranya untuk mengirim lagu tersebut melalui pos karna
Beliau tidak mempunyai uang. Akhirnya, Beliau menjual jasnya lalu mengirimkan
lagu tersebut melalui pas.
Dan
akhirnya Satorna menang, Beliau mendapatkan cek lalu menukaarnya dengan sepeda
motor di diler.
KEHIDUPAN
SARTONO
Istilah
“pahlawan tanpa tanda jasa” bahkan kemudian menjadi ikon yang disematkan kepada
para guru. Siapa sangka bila “sang pahlawan” yang tanpa tanda jasa itu
sejatinya dialami si pencipta lagu tersebut. Ya, Sartono, pencipta lagu yang
juga guru itu di masa senjanya hidup dalam kesederhanaan. Laki- laki asal
Madiun yang genap berusia 72 tahun, 29 Mei ini, tinggal rumah sederhana di
Jalan Halmahera 98, Madiun.
Sejak
Beliau mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun pada 1978, hingga
“pensiun” pada 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Beliau tak
punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Sartono
memang minder dengan latar belakang pendidikannya yang tak tamat SMA. Beliau mengajar
di SMP Purna Karya Bhakti, yang belakangan lebih dikenal sebagai SMP Kristen
Santo Bernadus, berbekal bakatnya di bidang musik. Sartono yang beragama Islam
itu melamar di Santo Bernadus berbekal sertifikat pengalaman kerja di
Lokananta, perusahan pembuat piringan hitam di Solo, Jawa Tengah.
Hidup
serba dalam kesempitan, tak membuat Sartono meratapi nasib. Beliau merasa
terhibur, dengan kebersamaan dengan Damiyati, BA, 59 tahun, istrinya yang guru
PNS. Damiyati dinikahi Sartono pada 1971. Dari pernikahan mereka belum jua
dikaruniai anak. Sehingga mereka mengasuh dua orang keponakan. Damiyati yang
juga guru, juga seniman biasa manggung bersama Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung,
di masa mudanya.
Kehidupan
sehari-harinya kini hanya dari pensiun istrinya yang tak lebih dari dari Rp 1
juta. Sartono sendiri kala masih aktif mengajar, gajinya pada akhir
pengabdiannya sebagai guru seni musik cuma Rp 60.000 per bulan. “Gaji saya sangat
rendah, bahkan mungkin paling rendah diantara guru-guru lainnya,” katanya
mengenang masa lalunya.
Kala masih
kuat, Sartono menambal periuk dapurnya dengan mengajar musik. Sepekan sekali,
Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar
kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.
PENGHARGAAN YANG DI DAPAT
Lagunya
melambung, namun Sartono tidak. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia
mengajar sebagai guru honorer hingga “pensiun.” Kalaulah ada penghargaan selain
hadiah mencipta lagu, “cuma” beberapa lembar piagam ucapan terimakasih. Nampak
piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan pada 2005.
Pak Gubernur juga memberikan bantuan Rp 600.000, plus sebuah keyboard.
Piagam
lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000.
Kemudian piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005,
plus bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu rupiah,” kata Sartono.
Tahun 2006
lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru kali ini
memberikan perhatian kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor
Garuda,” kata Sartono seraya menunjuk sepeda motor pemberian Walikota Madiun.
Meski minim perhatian, Sartono tetaplah
bangga, lagunya menjadi hymne para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama 24
tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa.
Itulah sepenggal
kisah kehidupan Beliau. Saya sangat miris membaca beberapa artikel tentang
Beliau. Lagu yang Beliau ciptakan sangat menggambarkan isi hatinya. Saya sangat
tertegun, ternyata kehidupan Pahlawan pencipata Lagu yang telah dijadikan lagu
nasional ini sangatlah menyedihkan. Sangat tidak layak dan tidak sebandinh
dengan Lagu Hymne gurunya itu. Saya rasa, pemerintah harus lebih melihat
kehidupan Sartono dan memberikan bantuan untuk biaya kehidupannya. Saya sangat
berharap, lagu Hymne guru tersebut akan selalu kekal dan sampai pada generasi
seterusnya. Semoga Beliau diberi kehidupan yang layak oleh Allah SWT di dunia
maupun akhirat. Aminn.
Terima kasih Pak!
Anda sangat menginspirasi saya untuk terus berjuang, ikhlas, sabar dalam
menghadapi hidup ini. Dan saya ingin menggapai cita-cita saya setinggi mungkin.
Serta saya rasa Ingin bertemu Bapak, untuk menanyakan dam ingin meminta Bapak
menasehati saya tentang hdiup ini. Terima kasih Pak! Anda Pahlawan Indonesia
Tanpa Tanda Jasa!
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerima kasih buat Artikel tentang Sartono Pencipta Lagu Hymne Guru yang cukup lengkap ini. Salam kenal dari admin Reportase Guru buat semua pengunjung laman ini.
BalasHapusReportase Guru Berbagi kabar tentang Dunia Guru, lowongan kerja, tunjangan, pendidikan, Info sekolah, Honorer, Beasiswa serta masih banyak lagi informasi terkini seperti:
Cara Cek Status Inpassing Guru
Panduan Juknis Penulisan Ijazah Lengkap
Faktor Penyebab Gagal Seleksi Tes CPNS
Video Panduan Upload Data Siswa
Cara Kemendikbud Atasi Bencana Kabut Asap
Himbauan Kemendikbud Jelang Pelaksanaan UKG Online
Kemenag Dituduh Asal-asalan Urus Pendidikan Islam Madrasah
Info Sekolah dan Dunia Islam Terkini
Terimakasih telah berkunjung di blog saya :) semoga bermanfaat :)
BalasHapus