Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Puisi: Kamu

Tasikmalaya, 15 September 2016 -Siska Fajarrany- R ona hitam mengkabuti waktu I ntan meredup tertindih bebatuan Z ona kenyamanan bagai sebuah hantaman K ala dirinya meredup nan tetap bercahaya I tulah yang membuatnya indah dideskripsikan E ntah sampai kapan K abut itu mengurung A dakah harapan lain??? R upanya tak ada waktu yang percuma I ni adalah garis kehidupan A ntara perjalanan dan perjuangan N iscaya tak ada kesia-siaan R asa dan asa menyatu I mpian terikrar suci N anti, bila waktu mendekapmu A kan ada kemenangan sejati L umpuh sudah semua rasa perih D alam setiap tetesan keringatmu I nilah dirimu dengan cahayamu……… Teruntuk kamu, setiap abjad dari barisan ini Masih ada harapan menyapamu Berlarilah hati-hati dengan hati Tengoklah ke belakang Ada senyuman dan doaku mengiri KAMU.

Puisi: Menunda atau Tertunda

-Siska Fajarrany- Dia terlalu lemah untuk melepaskan Tetap bertahan meski nampak semu Sebagai pajangan hati kala sepi Bahkan penghibur kala luka menghampiri Dai terlalu takut untuk menjauh Takut kehilangan harapan indah Tak mau semuanya lenyap tak berbekas Tersapu tak berbangkai tak membekas Dia terlalu cinta untuk menghilang Menatap meski tak lagi ditatap dalam kenang Teguh bertahan merindu titik temu Menyemogakan kepastian semu Apakah cinta bisa dijadikan alasan? Alasan untuk tetap bertahan dan berjuang Dia masih tetap menunggu rembulan menjulang Berulang kali menunda atau tertunda untuk pulang

Puisi: Katanya

'KATANYA' Malam ini bumi mengamuk Menyaksikan tunas bangsa terpuruk Mengikis harapan tanpa kepastian Merasuk sukma penuh dusta Virus menghantui setiap sudut Udara dicemari kedustaan Mereka berteriak dalam diam Mulutnya disumpal penuh ketakutan Hipokrit tak berbendung Mengarungi semangkuk dusta Diteguk tak minta ampun Membisu sel-sel tak berilmu Topeng dan kedok Permanen tak mau mencair Picik bersetubuh erat Racun-racun bagaikan coklat 'Katanya' agar berwarna 'Katanya agar banyak kepeduliaan 'Katanya' agar banyak perbaikan 'Katanya oh katanya.... Tasikmalaya, 17 Juni 2016 20:08 Asjap Siska Fajarrany Dipost pertama kali di akun offical line Mahasiswa Indonesia

Melihat Kolong Langit Kaum Intelektual

Malam semakin larut. Lampu jalanan menerangi setiap sudut kota. Aku kembali menatap kolong langit. Menikmati setiap dentuman yang berkecamuk di hati. Langit tetap indah walau tak berbicara. Kesetiaan langit yang menjadikannya berarti. Entah sampai kapan kebiasaan buruk ini berakhir. Kedua mataku enggan terpejam walau keadaan memaksaku terlelap. Tubuhku memiliki hak untuk beristirahat. Namun pikiran ini selalu saja tak ingin tertidur. Problematika yang perlu segera aku tangani. Mengingat TUPOKSI sang kaum intelektual tak semudah membalikan telapak tangan. Semuanya nampak jelas di hadapan kelopak mata. Segala aspek kehidupan bumi pertiwi semakin semrawut. Belum lagi para bedebah yang tak kunjung surut. Menggerogoti apa pun yang dapat dia salah gunakan. Inikah mental negeriku? Serendah inikah citra dan martabat tanah airku? Arrgggh! Percuma seminggu terakhir ini konflik yang ada dipikiran dan hatiku tak kunjung menyurut. Semakin bergejolak dan tak hentinya berguman. Melihat keadaan kau

Tanpa Judul

Apakah salah jika aku hanya ingin berdialog denganmu? Sekejap memandang makna matamu. Bersandar dibahumu yang kokoh dan tak pernah rapuh. Kini, aku rapuh dan meredup. Aku bersinar namun kembali diredupkan. Aku terlalu naif untuk memohon padamu. Engkau yang selalu hidup dalam setiap karyaku. Tak ada yang berubah dari awal hingga saat ini. Namun waktu menuntut diriku untuk menjauh. Karena apa? Noda cinta yang tertoreh tak terobati lagi. Mungkin ini yang dinamakan ketulusan. Tuhan menganugerahkan ketulusan pada cintaku. Kau tahu, seburuk apapun kamu, air laut tetaplah asin. Namun sampah telah merubah rasa air asin. Namun kaki sejenak menoleh, tak pernah nampak ketulusan pada dirimu. Aku tak sedikitpun menemukan ketulusan dalam setiap tatapan matamu. Ini bukan perkara yang mudah. Ini teramat sulit, melebihi soal-soal SBMPTN yang sedang ditakuti banyak pihak. Aku ingin terus memelukmu dan mendengar keluh kesahmu. Namun kini keadaan tak memungkinkan hal itu terjadi. Lebih baik kule

Apa Jadinya Universitas Tanpa Pers Mahasiswa?

Sore itu kami berempat mendiskusikan hal yang serupa. Mencari kunci utama untuk menghantam batu yang menghalangi langkah kami. Seperti hari-hari sebelumnya, aku selalu menjadi berbeda diantara mereka. Kartini diantara mereka. Namun itu sama sekali tak membuatku minder atau tak betah. Bagiku sama saja. Disini, diruang sempit yang menjadi tempat menetasnya karya-karya luar biasa yang dapat mengubah dunia.   Salah satu dari kami, sebut saja Aher sang layouter handal tak ada dua. Celetuk memberi pernyataan. "Apa jadinya Univ ini tanpa teknik elektro? Pareum! Poek!" ucapnya dengan suara khas sundanya yang kental. Senior tak mau kalah. Kakak yang selalu menjadi panutan kami menambahkan, "Apa jadinya univ ini tanpa teknik sipil? Rubuh!" ucapnya penuh kebanggaan.   Begitupula dengan senior satu lagi yang sempat menjabat ketua umum periode tahun sebelumnya. "Apa jadinya univ ini tanpa Matematika? Hancur perhitungan keuangan dan anggaran lembaga!" ucapnya lan