Malam semakin larut. Lampu jalanan menerangi setiap sudut kota. Aku kembali menatap kolong langit. Menikmati setiap dentuman yang berkecamuk di hati. Langit tetap indah walau tak berbicara. Kesetiaan langit yang menjadikannya berarti. Entah sampai kapan kebiasaan buruk ini berakhir. Kedua mataku enggan terpejam walau keadaan memaksaku terlelap. Tubuhku memiliki hak untuk beristirahat. Namun pikiran ini selalu saja tak ingin tertidur. Problematika yang perlu segera aku tangani. Mengingat TUPOKSI sang kaum intelektual tak semudah membalikan telapak tangan. Semuanya nampak jelas di hadapan kelopak mata. Segala aspek kehidupan bumi pertiwi semakin semrawut. Belum lagi para bedebah yang tak kunjung surut. Menggerogoti apa pun yang dapat dia salah gunakan. Inikah mental negeriku? Serendah inikah citra dan martabat tanah airku?
Arrgggh! Percuma seminggu terakhir ini konflik yang ada dipikiran dan hatiku tak kunjung menyurut. Semakin bergejolak dan tak hentinya berguman. Melihat keadaan kaum intelektual saat ini, ups ‘katanya’ kaum intelektual. Namun jika ditelusuri lebih dalam, tak ada perbedaannya dengan yang lain. Tetap saja kebanyakan dari mereka mengabaikan dan malah menutup telinga serta mata. Memang ada yang masih peduli, sebut saja mereka ‘aktivis’. Ya, entah itu aktivis atau lebih dalamnya mahasiswa abadi. Sibuk sana sini menganalisis, mengkaji, berdiskusi dan berandai-andai. Negeri ini sudah terlalu banyak berandai-andai. Dipenuhi para mahasiswa yang asyik menikmati setiap warna politik kampus. Ini baru skala kecil. Aku merasakan bagaimana kekejaman politik yang ada. Tak jarang segala cara dihalalkan disini. Entah apa nama dan maksudnya. Katanya sih agar berwarna dan banyak orang yang ingin membenahi. Lucu! Sangat lucu! Niat yang baik tak berbanding lurus dengan prosesnya. Cara mereka terkesan salah. Mereka salah arti. Diri sendiri saja tak mereka urus, dan sekarang mereka sibuk dengan dunianya. Bukankah sebelum membenahi halaman rumah lain, benahi dulu halaman rumah sendiri.
Semuanya semakin tak masuk akal.
Semuanya semakin tak masuk akal.
Jabatan dan popularitas semakin membabi buta. Belum lagi banyak korban perasaan. Ketulusan kaum hawa hanya dijadikan nafsu dan syahwat politik saja. Entah apa yang direncanakan. Namun ini memang benar adanya. Buta! Semuanya telah buta! Hentikan kebodohan ini! Sampai kapan pertiwi akan terus begini? Bobrok sudah negeri ini. Pendusta dianggap sebagai pembawa keadilan. Aku tak bisa berdiam diri. Sebelum semuanya semakin kacau. Aku perlu turun tangan. Melindungi martabat wanita. Kartini perlu terlahir kembali. Kaum hawa juga perlu membenahi kaum adam yang salah arti.
Akhiri semua ini. Sebelum negeri ini tenggelam oleh kemunafikan. Segera selamatkan negeri ini. Jangan asyik menonton di depan layar kaca. Terenyuh hati namun tak bisa berbuat apa-apa. Arus globalisasi tak mampu dihindari. Ini tantangan berat yang perlu dipecahkan. Belum lagi akhlak para kaum muda yang semakin memudar. Mereka asyik mencari teori-teori yang siap dikaji. Namun mereka lupa akan pedoman hidup mereka masing-masing. Akan Al-Quran, Injil dan kitab lainnya. Kembalilah berakhlak kaum muda! Kita perlu berbenah. Tak perlu ada yang terlahir seperti Bung Karno, Soeharto, Habibie, bung Tomo, Barak Obama ataupun tokoh hebat lainnya. Negeri ini hanya perlu para pemuda yang memilik 4 sifat Rasululloh. Sidiq, amanah, tabligh dan fatonah. Jika setengah saja dari kaum intelektual memiliki cerminat seperti Baginda Nabi, celakalah para bedebah. Mereka kebakaran jenggot tak tentu arah. Semua bidang apapun itu, baik ekonomi, politik, pendidikan, teknik, hukum, kesehatan, jurnalistik dll bila para aktivisnya memiliki sifat-sifat Rasululloh, dunia akan ada di genggaman kita semua. Saya rindu Mahasiswa yang merindukan sosok Nabi Muhammad SAW.
Tasikmalaya, 13 Juni 2016. 04:35
Tasikmalaya, 13 Juni 2016. 04:35
Komentar
Posting Komentar