"Aku sayang kamu, tapi aku tak ingin bersedih. Entah mungkin aku yang terlalu perasa, atau memang kamu yang membuat aku sedih."
Samar-samar suaranya terdengar mendayu dihempas angin malam. Hanya ada mereka berdua di kolong langit malam yang indah itu. Bulan yang teramat suci, menyadarkan ia yang sedang bersedih. Entah bermulai darimana, namun yang ia rasakan tak pernah ada kedamaian pada dirinya. Selalu saja sesak yang dirasa. Meski senyum lebar menghiasi bibirnya.
Kini ia tersadar bahwa semua ini memang hanya titipan Tuhan. Orang-orang yang ia miliki dan cintai, harta, tahta, ilmu dan kebahagiaan adalah titipan-Nya. Ia hanya perlu untuk menjaga dan merawatnya. Agar tidak lepas. Namun memang tanpa diundang, yang datang akan datang, dan yang hilang akan tetap menghilang. Tak ada yang mampu memaksakannya.
Tak ada yang tahu kedepannya seperti apa. Entah itu satu tahun ke depan, bulan depan, besok, jam ataupun sedetik kemudian. Ia hanya mampu tersenyum pada langit. Pada semesta yang kembali mengoyak-ngoyak seisi hatinya. Ia terlalu lemah untuk dikotak-koyak lagi. Karena sebentar lagi, ia harus pergi menjauh untuk kembali berpetualan melawan semesta.
Yang ia tahu untuk saat ini adalah membuktikan pada semesta. Bahwa ia memang kuat dan tak perlu berteriak sekencang-kencang untuk memberitahu seisi bumi bahwa ia memang sangat kuat. Ia bukanlah si cantik dambaan pria. Bukan pula si anak Sholehah dambaaan orang tuanya. Bukan pendengar yang baik untuk teman-temannya. Ia juga bukan si pintar yang dengan mudah menangkap pelajaran yang diterangkan dosen. Bukan juga si mulus, si pandai merawat diri ataupun rengrengan lainnya yang sebanding dengan teman sebayanya. Ia adalah ia. Ia dengan caranya sendiri. Si malas merawat diri yang selalu ke kampus dengan sandal japit. Si pemberontak Fakultasnya. Si tukang cari masalah di Kampus. Entah setelah lulus nanti akan menjad apa. Yang ia tahu, ia tak ingin berhenti mencari dan memberi ilmu kepada siapapun.
Terkait keinginannya untuk mengabdi pada negeri, itu tetap menjadi tujuannya. Entah dalam bentuk apa sepertinya, menjadi tenaga pengajar atau memang harus terbang ke pelosok Negara. Baginya tak apa, setidaknya ia memiliki mimpi untuk mengurangi anak bangsa yang sebodoh dia dalam menghadapi hidup. Ia yang begitu tolol dalam melangkah, sehingga entah seperti apa masa depannya. Kata temannya, Allah sudah menggoreskan takdir untuknya. Dan sekarang ia ingin menjemput takdir itu dengan caranya sendiri. Ia sudah pasrah di hadapan-Mu Tuhan. Tunjukan arah menuju pelangi itu. Ia hanya meminta untuk dihilangkan rasa ketakutannya pada kesindirian.
Esok dan seterusnya ia harus membuktikan kepada semesta bahwa ia itu kuat dan cantik dengan caranya sendiri.
Hidup ini tak seindah film layar lebar/sinetron/ftv yang happy ending. Di mana akan ada pangeran yang menjemputnya untuk menuju pelangi. Ia harus berlari mengejar janji Tuhan dan mengisi waktu luang untuk menunggu kematian.
Komentar
Posting Komentar